Sabtu, 11 Februari 2017

Ketika hari digiring menuju senja.

Sekumpul burung bangau dengan riang terbang.

Atau burung gereja dan pipit mencicit.

Aku tenggelam dalam gelombang massa tanpa suara.

Pulang.

Jingga.

Daun.

Udara.

Hitam.

Air.

Pohon.

Matahari.

Gelombang.


Wajahmu melayang-layang di riap cahya.


Sampan.

Waktu.

Akar.

Arus.

Terbenam.

Awan.

Langit.


Tanganku bergetar menggapaimu.


Dunia.

Sunyi.

Berderak.

Lumpuh.

Kaku.

Lahir.

Bergerak.

Menentang.

Menyerang.

Rindu.

Kau.

Aku.

Terpaku.


Manuskrip, Sungai Kapuas, 9 February 2017.

Terinspirasi dari Puisi Chairil Anwar berjudul 1943.

Jumat, 20 Januari 2017

Kenang

Apakah mimpi waktu itu untuk hari ini..?
Sampai aku bertanya mengapa engkau
melepas kudungmu serba putih itu di depanku.

Tanpa kau jawab. 
Cuma hati kelewat pengap. 

Sudah kelewat lama tanpa temu. 
Kelewat lama cuma bertemu lewat mimpi dan memang nyata. 
Aku kira ketika bangun dari tidur serta selepasnya,
itu adalah sebuah kenyataan. Dan berlalu. 

Begitu cepatnya.


Aku cuma bisa mengenang sisa raut wajahmu yang dulu.
Dulu sekali. 

Putih merah.
Putih biru.

Yang ada cuma rasa senang waktu itu.
Dalam gaun sederhana masa kecil 
dan tak akan bisa diulang kembali.
Jemari waktu perlahan menuntun untuk hari ini.

Menyedihkan memang. 
Tapi itulah takdirmu. 

Namun masih nasib untukku. 
Aku buat sebagai kenang-kenangan. 
Satu titik akan melebar.
Mengisi ruang kosong.

Kehilangan memang selalu mengharukan.
Hingga pada suatu keputusan oleh sebab harus mengikhlaskan.
Tapi betapa muramnya ketika telah saling melupakan.

Manuskrip, dalam kenang-kenangan, Kubu Raya, 22 january 2016.
Revisi 22 january 2017.